Langkah Hukum Penyelesaian Perselisihan Ketenagakerjaan
Hubungan ketenagakerjaan yang
harmonis antara pengusaha dengan pekerja merupakan keadaan yang dicita-citakan
oleh Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UUK)
sebagaimana telah diperbaharui dengan Undang-undang Cipta Kerja (UUCK) beserta
turunannya. Dalam praktiknya, masih terdapat banyak perselisihan-perselisihan
yang terjadi, baik yang disebabkan karena pelanggaran oleh perusahaan maupun
pekerja, perbedaan pendapat dan kepentingan, hingga perbedaan penafsiran.
Dalam hal terjadi perselisihan ketenagakerjaan,
atau disebut juga Perselisihan Hubungan Industrial, Undang-undang Nomor 2 Tahun
2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (UUPPHI) telah
mengatur mekanisme-mekanisme penyelesaiannya. Agar pengusaha maupun pekerja
memahami ketentuan, alur, proses, dan tata cara penyelesaian perselisihan hubungan
industrial, Lex Integra merangkum ketentuan dalam undang-undang tersebut sebagai
berikut:
Apabila terjadi Perselisihan
Hubungan Industrial, sebelum menentukan langkah apa yang akan ditempuh, baik
pengusaha maupun pekerja perlu terlebih dahulu mengetahui jenis
perselisihan apa yang terjadi, karena langkah yang akan ditempuh bisa berbeda. UUPHI
membagi Perselisihan Hubungan Industrial ke dalam 4 jenis sebagai berikut:
a. Perselisihan hak, yaitu perselisihan yang timbul karena tidak dipenuhinya hak, akibat adanya perbedaan pelaksanaan atau penafsiran terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan, perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
b. Perselisihan kepentingan,
yaitu perselisihan yang timbul dalam hubungan kerja karena tidak adanya
kesesuaian pendapat mengenai pembuatan, dan/atau perubahan syarat-syarat
kerja yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, atau peraturan perusahaan,
atau perjanjian kerja bersama.
c. Perselisihan pemutusan
hubungan kerja, yaitu perselisihan yang timbul karena tidak adanya
kesesuaian pendapat mengenai pengakhiran hubungan kerja yang dilakukan
oleh salah satu pihak.
d. Perselisihan antar serikat
pekerja/serikat buruh, yaitu perselisihan antara serikat pekerja dengan
serikat pekerja lain dalam satu perusahaan, karena tidak adanya
persesuaian paham mengenai keanggotaan, pelaksanaan hak, dan kewajiban
keserikatpekerjaan.
Setelah memahami dan menentukan
perselisihan hubungan industrial apa yang sedang terjadi, langkah selanjutnya
adalah menempuh perundingan bipartit secara internal antara pengusaha dengan
pekerja atau serikat pekerja buruh untuk mencapai mufakat.
Perundingan bipartit merupakan
langkah yang diwajibkan oleh Pasal 3 ayat (1) UUPHI untuk ditempuh
terlebih dahulu atas setiap perselisihan hubungan industrial yang terjadi.
Proses perundingan ini dilaksanakan secara internal tanpa ada keterlibatan
instansi ketenagakerjaan. Dalam proses ini, pekerja dapat didampingi oleh
serikat pekerja maupun Advokat demi keseimbangan dengan perusahaan yang juga
dapat diwakili oleh bagian HR atau bagian hukumnya maupun didampingi oleh Advokat.
Meskipun demikian, pekerja yang bersangkutan tetap wajib menghadiri perundingan
tersebut.
Perundingan dilaksanakan dalam
jangka waktu paling lama 30 hari sejak tangal dimulainya perundingan dan wajib
dibuatkan risalahnya yang ditandatangani oleh para pihak. Atas kesepakatan yang
tercapai dalam perundingan tersebut, wajib dibuatkan Perjanjian Bersama (PB).
Apabila dalam jangka waktu 30
hari tidak tercapai kesepakatan, atau salah satu pihak menolak untuk berunding,
maka perundingan dianggap gagal. Kegagalan tersebut dapat dicatatkan oleh salah
satu atau kedua belah pihak kepada instansi ketenagakerjaan (disnaker) setempat
dengan melampirkan bukti bahwa upaya-upaya perundingan bipartit telah
dilakukan.
Dalam hal perundingan biaprtit
gagal atau tidak mencapai kesepakatan, instansi ketenagakerjaan akan menawarkan
penyelesaian melalui konsiliasi atau melalui arbitrase tergantung pada jenis
perselisihan hubungan yang terjadi, atau para pihak juga dapat memilih untuk
menyelesaikan melalui mediasi dengan mediator yang berasal dari instansi
ketenagakerjaan tersebut.
Dalam mediasi dan konsiliasi di
instansi ketenagakerjaan, para pihak wajib hadir walaupun didampingi oleh
advokat atau kuasa hukum. Apabila terjadi kesepakatan dalam mediasi dan
konsiliasi, maka para pihak membuat Perjanjian Bersama (PB) yang wajib
dicatatkan pada Pengadilan Hubungan Industrial setempat. Apabila tidak terjadi
kesepakatan, maka mediator atau konsiliator akan mengeluarkan anjuran tertulis.
Dalam hal para pihak menyetujui anjuran tersebut, maka mediator atau
konsiliator akan membantu para pihak untuk membuat PB. Dalam hal salah satu
pihak atau para pihak menolak anjuran tersebut, maka salah satu pihak atau para
pihak dapat melanjutkan penyelesaian perselisihan ke Pengadilan Hubungan
Industrial.
Berbeda dengan mediasi dan konsiliasi, arbitrase merupakan suatu lembaga penyelesaian sengketa alternatif tersendiri. Penyelesaian perselisihan melalui arbitrase hanya dilakukan untuk jenis perselisihan kepentingan dan perselisihan antar serikat pekerja dalam satu perusahaan.
Dalam penyelesaian melalui arbitrase, para pihak dapat diwakili
oleh kuasa hukumnya. Hakim dalam arbitrase disebut Arbiter. Arbiter akan
terlebih dahulu mengupayakan perdamaian para pihak, yang apabila tercapai maka
akan terbit Akta Perdamaian. Dalam hal perdamaian tidak tercapai, Arbiter akan
melanjutkan sidang arbitrase.
Produk hukum dari sidang
arbitrase adalah Putusan Arbitrase. Putusan ini memiliki kekuatan hukum yang
tetap dan bersifat final serta memiliki kekuatan eksekutorial sehingga wajib
dilaksanakan oleh para pihak. Perselisihan yang sedang atau telah diselesaikan
melalui arbitrase tidak dapat diajukan ke Pengadilan Hubungan Industrial.
Setelah melalui perundingan
bipartit dan mediasi atau konsiliasi, para pihak atau salah satu pihak yang
menolak anjuran tertulis dari mediator atau konsiliator dapat mengajukan
penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui Pengadilan Hubungan
Industrial. Risalah mediasi atau konsiliasi merupakan salah satu syarat
mutlak yang dibutuhkan dalam mengajukan gugatan pada Pengadilan Hubungan
Industrial. Oleh karena itu, para pihak atau salah satu pihak tidak dapat
langsung mengajukan gugatan tanpa terlebih dahulu menempuh perundingan bipartit
dan tripartit berupa mediasi atau konsiliasi.
Dalam bersidang, serikat pekerja
atau organisasi pengusaha dapat bertindak sebagai kuasa hukum untuk mewakili
anggotanya. Agar gugatan atau pembelaan maksimal dari sisi hukum formil, para
pihak juga dapat menggunakan jasa advokat sebagai kuasa hukum.
Demikian rangkuman singkat dari
alur penyelesaian perselisihan hubungan industrial sebagaimana diatur dalam
UUPPHI. Proses yang ditempuh memang tidak singkat, di mana para pihak yang
berselisih tidak dapat langsung mengajukan gugatan. Hal tersebut untuk
memastikan bahwa perselisihan-perselisihan yang timbul dapat diselesaikan
terlebih dahulu melalui musyawarah untuk mufakat sebelum menyelesaikannya
melalui lembaga peradilan.
Apabila anda memiliki pertanyaan
lebih lanjut terkait topik penyelesaian perselisihan ketenagakerjaan/hubungan
industrial atau membutuhkan bantuan kami dalam menyelesaikan perselisihan
hubungan industrial, anda dapat menghubungi kami melalui tombol WhatsApp
pada pojok kanan bawah halaman ini untuk menjadwalkan konsultasi baik
perorangan, kolektif, serikat pekerja, maupun untuk perusahaan anda.
Salam Hangat,
Aldi Putra Perdana, S.H, M.M.,
Adv.
Principal Lawyer & Managing Partner – Lex Integra Law Office