Tuesday, May 11, 2021

Langkah Hukum Penyelesaian Perselisihan Ketenagakerjaan
 “Tidak Dapat Langsung Menggugat! Ada Proses Perundingan yang Menjadi Syarat”

Hubungan ketenagakerjaan yang harmonis antara pengusaha dengan pekerja merupakan keadaan yang dicita-citakan oleh Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UUK) sebagaimana telah diperbaharui dengan Undang-undang Cipta Kerja (UUCK) beserta turunannya. Dalam praktiknya, masih terdapat banyak perselisihan-perselisihan yang terjadi, baik yang disebabkan karena pelanggaran oleh perusahaan maupun pekerja, perbedaan pendapat dan kepentingan, hingga perbedaan penafsiran.


Dalam hal terjadi perselisihan ketenagakerjaan, atau disebut juga Perselisihan Hubungan Industrial, Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (UUPPHI) telah mengatur mekanisme-mekanisme penyelesaiannya. Agar pengusaha maupun pekerja memahami ketentuan, alur, proses, dan tata cara penyelesaian perselisihan hubungan industrial, Lex Integra merangkum ketentuan dalam undang-undang tersebut sebagai berikut:

 

1. Jenis Perselisihan Hubungan Industrial

Apabila terjadi Perselisihan Hubungan Industrial, sebelum menentukan langkah apa yang akan ditempuh, baik pengusaha maupun pekerja perlu terlebih dahulu mengetahui jenis perselisihan apa yang terjadi, karena langkah yang akan ditempuh bisa berbeda. UUPHI membagi Perselisihan Hubungan Industrial ke dalam 4 jenis sebagai berikut:


a. Perselisihan hak, yaitu perselisihan yang timbul karena tidak dipenuhinya hak, akibat adanya perbedaan pelaksanaan atau penafsiran terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan, perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.


b. Perselisihan kepentingan, yaitu perselisihan yang timbul dalam hubungan kerja karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pembuatan, dan/atau perubahan syarat-syarat kerja yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, atau peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.


c. Perselisihan pemutusan hubungan kerja, yaitu perselisihan yang timbul karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pengakhiran hubungan kerja yang dilakukan oleh salah satu pihak.


d. Perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh, yaitu perselisihan antara serikat pekerja dengan serikat pekerja lain dalam satu perusahaan, karena tidak adanya persesuaian paham mengenai keanggotaan, pelaksanaan hak, dan kewajiban keserikatpekerjaan.


Setelah memahami dan menentukan perselisihan hubungan industrial apa yang sedang terjadi, langkah selanjutnya adalah menempuh perundingan bipartit secara internal antara pengusaha dengan pekerja atau serikat pekerja buruh untuk mencapai mufakat.

 

2. Perundingan Bipartit (Internal)

Perundingan bipartit merupakan langkah yang diwajibkan oleh Pasal 3 ayat (1) UUPHI untuk ditempuh terlebih dahulu atas setiap perselisihan hubungan industrial yang terjadi. Proses perundingan ini dilaksanakan secara internal tanpa ada keterlibatan instansi ketenagakerjaan. Dalam proses ini, pekerja dapat didampingi oleh serikat pekerja maupun Advokat demi keseimbangan dengan perusahaan yang juga dapat diwakili oleh bagian HR atau bagian hukumnya maupun didampingi oleh Advokat. Meskipun demikian, pekerja yang bersangkutan tetap wajib menghadiri perundingan tersebut.


Perundingan dilaksanakan dalam jangka waktu paling lama 30 hari sejak tangal dimulainya perundingan dan wajib dibuatkan risalahnya yang ditandatangani oleh para pihak. Atas kesepakatan yang tercapai dalam perundingan tersebut, wajib dibuatkan Perjanjian Bersama (PB).


Apabila dalam jangka waktu 30 hari tidak tercapai kesepakatan, atau salah satu pihak menolak untuk berunding, maka perundingan dianggap gagal. Kegagalan tersebut dapat dicatatkan oleh salah satu atau kedua belah pihak kepada instansi ketenagakerjaan (disnaker) setempat dengan melampirkan bukti bahwa upaya-upaya perundingan bipartit telah dilakukan.

 

3. Perundingan Mediasi, Konsiliasi, dan Arbitrase

Dalam hal perundingan biaprtit gagal atau tidak mencapai kesepakatan, instansi ketenagakerjaan akan menawarkan penyelesaian melalui konsiliasi atau melalui arbitrase tergantung pada jenis perselisihan hubungan yang terjadi, atau para pihak juga dapat memilih untuk menyelesaikan melalui mediasi dengan mediator yang berasal dari instansi ketenagakerjaan tersebut.


Dalam mediasi dan konsiliasi di instansi ketenagakerjaan, para pihak wajib hadir walaupun didampingi oleh advokat atau kuasa hukum. Apabila terjadi kesepakatan dalam mediasi dan konsiliasi, maka para pihak membuat Perjanjian Bersama (PB) yang wajib dicatatkan pada Pengadilan Hubungan Industrial setempat. Apabila tidak terjadi kesepakatan, maka mediator atau konsiliator akan mengeluarkan anjuran tertulis. Dalam hal para pihak menyetujui anjuran tersebut, maka mediator atau konsiliator akan membantu para pihak untuk membuat PB. Dalam hal salah satu pihak atau para pihak menolak anjuran tersebut, maka salah satu pihak atau para pihak dapat melanjutkan penyelesaian perselisihan ke Pengadilan Hubungan Industrial.


Berbeda dengan mediasi dan konsiliasi, arbitrase merupakan suatu lembaga penyelesaian sengketa alternatif tersendiri. Penyelesaian perselisihan melalui arbitrase hanya dilakukan untuk jenis perselisihan kepentingan dan perselisihan antar serikat pekerja dalam satu perusahaan.


Dalam penyelesaian melalui arbitrase, para pihak dapat diwakili oleh kuasa hukumnya. Hakim dalam arbitrase disebut Arbiter. Arbiter akan terlebih dahulu mengupayakan perdamaian para pihak, yang apabila tercapai maka akan terbit Akta Perdamaian. Dalam hal perdamaian tidak tercapai, Arbiter akan melanjutkan sidang arbitrase.


Produk hukum dari sidang arbitrase adalah Putusan Arbitrase. Putusan ini memiliki kekuatan hukum yang tetap dan bersifat final serta memiliki kekuatan eksekutorial sehingga wajib dilaksanakan oleh para pihak. Perselisihan yang sedang atau telah diselesaikan melalui arbitrase tidak dapat diajukan ke Pengadilan Hubungan Industrial.

 

4. Pengadilan Hubungan Industrial

Setelah melalui perundingan bipartit dan mediasi atau konsiliasi, para pihak atau salah satu pihak yang menolak anjuran tertulis dari mediator atau konsiliator dapat mengajukan penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui Pengadilan Hubungan Industrial. Risalah mediasi atau konsiliasi merupakan salah satu syarat mutlak yang dibutuhkan dalam mengajukan gugatan pada Pengadilan Hubungan Industrial. Oleh karena itu, para pihak atau salah satu pihak tidak dapat langsung mengajukan gugatan tanpa terlebih dahulu menempuh perundingan bipartit dan tripartit berupa mediasi atau konsiliasi.


Dalam bersidang, serikat pekerja atau organisasi pengusaha dapat bertindak sebagai kuasa hukum untuk mewakili anggotanya. Agar gugatan atau pembelaan maksimal dari sisi hukum formil, para pihak juga dapat menggunakan jasa advokat sebagai kuasa hukum.

 


Demikian rangkuman singkat dari alur penyelesaian perselisihan hubungan industrial sebagaimana diatur dalam UUPPHI. Proses yang ditempuh memang tidak singkat, di mana para pihak yang berselisih tidak dapat langsung mengajukan gugatan. Hal tersebut untuk memastikan bahwa perselisihan-perselisihan yang timbul dapat diselesaikan terlebih dahulu melalui musyawarah untuk mufakat sebelum menyelesaikannya melalui lembaga peradilan.


Apabila anda memiliki pertanyaan lebih lanjut terkait topik penyelesaian perselisihan ketenagakerjaan/hubungan industrial atau membutuhkan bantuan kami dalam menyelesaikan perselisihan hubungan industrial, anda dapat menghubungi kami melalui tombol WhatsApp pada pojok kanan bawah halaman ini untuk menjadwalkan konsultasi baik perorangan, kolektif, serikat pekerja, maupun untuk perusahaan anda.

 

Salam Hangat,

Aldi Putra Perdana, S.H, M.M., Adv.

Principal Lawyer & Managing Partner – Lex Integra Law Office

Advocate and Legal Consultant. Managing Partner of Lex Integra Law Office.

Contact Us

WhatsApp :

+62 821 1318 2923

Address :

Lex Integra Law Office
Jl. Ecopolis Boulevard VD03/62, 2nd Floor,
Citra Raya,
Kab. Tangerang, Indonesia

Email :

counsel.integra@gmail.com