Integrated Legal Solutions

For You and Your Business

Explore More!
Profile

Lex Integra

Who are we?

Lex Integra is a professional and sophisticated Indonesian law office committed in providing you integrated legal solutions. We practice both in litigation and non-litigation matters in various fields of law, namely business or commercial, employment or labor, civil, land and building, family, and criminal law.

We understand that the legal system is complex, dynamic, and sometimes confusing. Preventing a legal issue or solving a legal problem takes more than just simply knowing the law. Whether you are an individual seeking justice or a corporation growing your business, you deserve having your rights legally protected by lawyers you can trust. Affiliated with professional lawyers and law firms, we are here to help you prevent or settle legal issues.

Located in Tangerang, Indonesia, Lex Integra was founded by Mr. Aldi Putra Perdana, S.H., M.M., a PERADI Licensed Advocate. Having more than 5 years of experience practicing various fields of law, he specializes himself in dispute resolution and litigation, either civil, commercial/business, or criminal. Having both Bachelor’s Degree in Law (S.H.) from Pancasila University and Master’s Degree in Management (M.M.) from Swiss German University Master of Business Administration Program as well as Tax Certification from Ikatan Akuntan Indonesia (IAI), he is able to balance business interests in conducting legal research and providing legal advice.

Services

Business/Commercial

Establishment

Permit and Licensing

Employment

Contract Drafting

Document Review

Legal Research

Legal Opinion

Civil Litigation

Family and Divorce

Tort and Default

Employment Dispute Resolutions

Land and Building

Criminal Litigation

Let us help you seek justice by fighting for your rights in criminal cases.

Retainer Service

Trust the legal matters of your company with us, and you can focus on growing your business. Save legal costs with our flexible retainer rates. Email us to know more.

Articles

Poligami Tanpa Izin? Awas Dijerat Pidana!

"Penjara Menanti Jika Tetap Nekat"


Hukum perkawinan di Indonesia pada dasarnya menganut asas monogami, yaitu dalam suatu perkawinan satu orang pria hanya boleh memiliki satu orang istri, begitu juga sebaliknya satu orang wanita hanya boleh memiliki satu orang suami. Hal ini diatur dalam Pasal 3 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 (UU Perkawinan). Meskipun demikian, Pasal 3 ayat (2) UU Perkawinan memberikan pengecualian di mana laki-laki boleh beristri lebih dari satu orang (poligami) bila dikehendaki oleh para pihak dalam perkawinan tersebut.


Meski diperbolehkan, pengecualian tersebut bukanlah tanpa syarat. Pengadilanlah lembaga yang dapat memberikan izin poligami tersebut dengan mempertimbangkan sebab-sebab diajukannya permohonan izin poligami dan apakah syarat-syarat untuk berpoligami telah terpenuhi.


Pengadilan hanya memberi izin poligami apabila:

- Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri;

- Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;

- Istri tidak dapat melahirkan keturunan.


Untuk dapat mengajukan permohonan izin poligami kepada Pengadilan, harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

- adanya persetujuan dari istri/istri-istri;

- adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperlian-keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka;

- adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak mereka


Lantas bagaimana jika seorang laki-laki yang masih terikat dalam perkawinan yang sah menikah lagi tanpa memenuhi syarat-syarat tersebut dan tanpa izin poligami dari pengadilan?


Apabila seorang laki-laki masih terikat dalam suatu perkawinan, maka perkawinannya tersebut menjadi penghalang yang sah bagi perkawinan lainnya. Dengan demikian, secara hukum laki-laki tersebut tidak dapat melangsungkan perkawinan lain kecuali atas dasar izin poligami yang diterbitkan oleh pengadilan.


Terdapat ancaman pidana penjara yang diatur dalam Pasal 279 KUHP ayat (1) butir 1 jika sang laki-laki tetap nekat melangsungkan perkawinan, dengan perumusan sebagai berikut:


“Diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun, barang siapa mengadakan perkawinan padahal mengetahui bahwa perkawinan atau perkawinan-perkawinannya yang telah ada menjadi penghalang yang sah untuk itu.”


Penting untuk diketahui, ancaman pidana penjara tidak hanya dapat menjerat laki-laki yang berpoligami tanpa izin, namun juga dapat menjerat pasangan poligaminya sebagaimana diatur dalam Pasal 279 KUHP ayat (1) butir 2, dengan perumusan sebagai berikut:


“Diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun, barang siapa mengadakan perkawinan padahal mengetahui bahwa perkawinan atau perkawinan-perkawinan pihak lain menjadi penghalang untuk itu."


Ancaman hukuman pidana penjara yang lebih berat menanti sang laki-laki, jika laki-laki tersebut untuk mengadakan perkawinan lainnya tersebut menyembunyikan status perkawinannya yang menjadi penghalang  (misalnya dengan mengaku ‘lajang’) sebagaimana diatur dalam Pasal 279 KUHP ayat (2), dengan perumusan sebagai berikut:


“Jika yang melakukan perbuatan berdasarkan ayat (1) butir 1 menyembunyikan kepada pihak lain bahwa perkawinan yang telah ada menjadi penghalang yang sah untuk itu diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.”


Kemudian bagaimana jika perkawinan poligami tersebut adalah nikah siri? Penting untuk diketahui bahwa nikah siri bukanlah suatu perkawinan yang diakui oleh Negara Republik Indonesia, sehingga terdapat jerat hukum lain yang menghantui pelaku poligami nikah siri yang akan Lex Integra uraikan dalam artikel lain.


Demikianlah uraian ringkas mengenai ancaman pidana atas poligami tanpa izin. Apabila anda membutuhkan informasi lebih lanjut, atau membutuhkan bantuan dalam permasalahan yang berkaitan dengan hukum keluarga dan perkawinan, anda dapat menghubungi kami melalui tombol WhatsApp  pada pojok kanan bawah halaman ini untuk menjadwalkan konsultasi.

 

Salam Hangat,

Aldi Putra Perdana, S.H., M.M., Advocate

Managing Director – Lex Integra Law Office

Pembagian Harta Gono-Gini dalam Perceraian

 "Bagaimana Pembagiannya dan Mengapa Harus Diajukan?"


Perceraian merupakan hal yang sangat dihindari oleh pasangan suami istri pada umumnya. Namun, terkadang keputusan untuk bercerai tidak dapat dihindari dan harus diambil oleh pasangan suami istri karena alasan tertentu dalam dinamika rumah tangganya. Salah satu konsekuensi hukum yang dapat timbul dan harus diselesaikan dari terjadinya perceraian adalah pembagian harta gono-gini, atau yang dikenal dalam hukum dengan istilah pembagian harta bersama.


Pembagian harta bersama pasca perceraian pada dasarnya tidak tergantung kepada atas nama siapa harta tersebut tercatat atau siapa yang bekerja mencari nafkah untuk mendapatkan harta tersebut. Lantas, bagaimana pembagiannya?


Berikut ini adalah uraian ringkas dari Lex Integra mengenai harta bersama dan pembagiannya menurut hukum yang berlaku di Indonesia.


1. Harta Bawaan, Harta Masing-Masing, dan Harta Bersama


Sebelum masuk lebih dalam kepada cara pembagian harta bersama, tentu harus dibedakan dulu jenis-jenis harta dalam suatu perkawinan, yaitu harta bawaan, harta masing-masing, dan harta bersama.


Harta bawaan adalah harta suami atau istri yang diperolehnya sebelum perkawinan. Masing-masing suami atau istri berhak untuk menguasai maupun melakukan perbuatan hukum atas harta bawaannya tersebut tanpa memerlukan persetujuan dari pasangannya.


Harta masing-masing adalah harta suami atau istri yang diperolehnya masing-masing sebagai hadiah atau warisan. Seperti halnya harta bawaan, penguasaan maupun perbuatan hukum atas harta masing-masing ini sepenuhnya merupakan hak masing-masing suami atau istri.


Harta bersama adalah segala harta benda yang diperoleh oleh suami dan/atau istri selama perkawinan berlangsung. Berbeda dengan harta bawaan dan harta masing-masing, perbuatan hukum atas harta bersama hanya dapat dilakukan setelah mendapatkan persetujuan kedua belah pihak. Harta inilah yang dibagi sebagai harta gono-gini dalam suatu perceraian.


2. Perjanjian Perkawinan


Dalam pembagian harta bersama, hal yang sangat perlu diperhatikan adalah ada atau tidaknya Perjanjian Perkawinan (sebelumnya dikenal dengan Perjanjian Pranikah atau Prenuptial Agreement, namun kini dapat dibuat setelah pernikahan). Apabila dalam Perjanjian Perkawinan memuat ketentuan mengenai pemisahan harta antara suami dan istri, maka pada dasarnya tidak ada harta bersama.


Sebaliknya, jika tidak ada Perjanjian Perkawinan yang memuat ketentuan mengenai pemisahan harta tersebut, maka harta bersama dapat dibagi sebagai akibat dari terjadinya perceraian.


3. Pembagian Harta Bersama


Di Indonesia, baik menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata) maupun Kompilasi Hukum Islam (KHI), harta gono-gini dibagi sama rata bagi suami dan istri yang bercerai, yang dihitung dari keseluruhan harta bersama. Dengan kata lain, masing-masing suami dan istri yang bercerai mendapatkan ½ bagian (50%) dari harta bersama tersebut, terlepas dari atas nama siapa harta tersebut tercatat, atau siapa yang mencari nafkah dalam memperoleh harta tersebut selama perkawinan berlangsung. Meskipun demikian, dalam praktiknya hakim bisa saja memutus pembagian harta bersama tersebut berdasarkan pembagian yang menurut pertimbangannya adalah lebih adil bagi para pihak.


Pembagian harta bersama tidak serta merta terjadi setelah perkara perceraian diputus oleh pengadilan. Oleh karena itu, gugatan atau permohonan pembagian harta bersama perlu diajukan setelah putusan perceraian tersebut memperoleh kekuatan hukum tetap.


Bagi perkawinan yang dilangsungkan secara Islam (dicatatkan pada KUA), maka pembagian harta bersama diajukan kepada Pengadilan Agama tempat tinggal istri. Bagi perkawinan yang dilangsungkan dengan dicatatkan pada Kantor Catatan Sipil, maka gugatan pembagian harta bersama diajukan ke Pengadilan Negeri tempat tinggal Tergugat. 


Sepanjang belum ada putusan atau penetapan pembagian harta bersama, maka secara hukum segala perbuatan hukum atas harta bersama tersebut masih harus mendapatkan persetujuan mantan suami atau mantan istri, meskipun telah resmi bercerai. Oleh karena itu, penting bagi pasangan suami-istri yang sudah bercerai maupun akan bercerai untuk mempertimbangkan mengenai pembagian harta bersama tersebut.


Demikianlah uraian ringkas mengenai pembagian harta gono-gini atau harta bersama dalam perceraian. Apabila anda membutuhkan informasi lebih lanjut, atau membutuhkan bantuan dalam pembagian harta gono-gini atau harta bersama, anda dapat menghubungi kami melalui tombol WhatsApp pada pojok kanan bawah halaman ini, atau melalui email ke counsel.integra@gmail.com untuk menjadwalkan konsultasi.



Salam Hangat,

Aldi Putra Perdana, S.H., M.M., Advocate

Managing Director – Lex Integra Law Office


Perseroan Terbatas (PT) Perorangan untuk Usaha Mikro dan Kecil

 “Suatu Kemudahan Memperoleh Legalitas Usaha”

Agar tidak ‘buntung’ saat mencari untung, pengusaha wajib memperhatikan aspek legalitas dari usahanya. Apapun skala usaha yang dijalankan, baik mikro, kecil, menengah, maupun besar, legalitas usaha memberikan perlindungan hukum dan kepastian hukum bagi pengusaha, perusahaan, dan konsumen, serta dapat mencegah terjadinya permasalahan hukum yang dapat mengganggu jalannya usaha.

Khusus bagi usaha Mikro dan Kecil, Pemerintah melalui Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia kini telah mengakomodir pendirian Perseroan Terbatas (PT) Perorangan melalui website Administrasi Hukum Umum (AHU), https://ahu.go.id/, sesuai dengan amanah Undang-undang Cipta Kerja (UUCK) Bagian Kelima, Pasal 7 ayat (7) huruf e dan Pasal 153A.  Jika sebelumnya menurut Undang-undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UUPT) pendirian PT membutuhkan minimal 2 pemegang saham dan harus didirikan melalui Akta Notaris, dengan berlakunya UUCK maka khusus bagi pelaku usaha Mikro dan Kecil kini sudah dapat memiliki legalitas usaha dengan mendirikan sendiri badan hukum berbentuk PT Perorangan dengan mudah, sederhana, dan terjangkau.

Apa sebenarnya keuntungan mendirikan badan hukum untuk usaha? Apa saja syarat mendirikan PT Perorangan? Berikut ini rangkumannya.

1. Keuntungan Memiliki Badan Usaha Berbadan Hukum

Dalam hukum perdata, terdapat 2 jenis subjek hukum, yaitu manusia dan badan hukum. Badan hukum bukan merupakan mahkluk hidup berwujud selayaknya manusia, namun kedudukan hukumnya dipersamakan dengan manusia. Dengan kedudukan hukum tersebut, badan hukum dapat melakukan perbuatan hukum keperdataan seperti jual-beli, utang-piutang, mengadakan perjanjian, memiliki harta, dan sejenisnya dengan menggunakan nama badan hukum itu sendiri selayaknya manusia, melalui pengurusnya yang sah.

Salah satu hal penting yang membedakan antara badan usaha berbadan hukum dengan yang tidak berbadan hukum adalah pemisahan harta kekayaan. Badan usaha berbadan hukum memiliki harta kekayaan sendiri yang terpisah dari harta kekayaan pengusahanya.

Dengan adanya pemisahan tersebut, maka pertanggungjawaban pengusaha juga bersifat terbatas, artinya pengusaha tidak serta merta bertanggung jawab penuh secara pribadi atas kerugian, kepailitan, atau permasalahan hukum perusahaannya, kecuali disebabkan atas hal-hal tertentu yang diatur oleh peraturan perundang-undangan. 

Lantas, apakah badan usaha yang tidak berbadan hukum berarti tidak memiliki legalitas? Sepanjang didirikan sesuai peraturan perundang-undangan, badan usaha yang tidak berbadan hukum tetap legal. Hanya saja, perlindungan hukum sebagaimana terdapat pada badan hukum tidak terdapat pada badan usaha yang tidak berbadan hukum. Dalam badan usaha tidak berbadan hukum tidak dikenal pemisahan harta kekayaan, sehingga pengusaha ikut bertanggung jawab penuh hingga ke harta pribadinya.

Terdapat tiga bentuk badan usaha berbadan hukum, yaitu PT, Koperasi, dan Yayasan. Dari ketiga bentuk tersebut, PT merupakan badan usaha berbadan hukum yang umum dan ideal digunakan untuk kegiatan komersial.

Menjadi semakin tertarik untuk mendirikan badan usaha berbadan hukum? Simak terus artikel ini.

2. Syarat Pendirian PT Perorangan

Syarat utama yang harus dipenuhi agar pengusaha dapat mendirikan PT Perorangan adalah usaha tersebut masuk ke dalam kategori usaha Mikro atau Kecil. Berdasarkan UUCK dan Peraturan Pemerintah Nomor 7 tahun 2021, untuk pendirian atau pendaftaran usaha, kategori usaha mikro adalah usaha yang memiliki modal paling banyak 1 miliar rupiah, dan kategori usaha kecil adalah usaha yang memiliki modal lebih dari 1 miliar rupiah sampai dengan 5 miliar rupiah. Modal tersebut tidak termasuk tanah dan tempat usaha.

Syarat selanjutnya, sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2021, pendiri/pemegang saham hanya boleh 1 (satu) orang, yaitu Warga Negara Indonesia (WNI) yang berusia paling sedikit 17 tahun dan cakap secara hukum. Pendiri kemudian wajib mendaftarkan akun dan mengisi form Pernyataan Pendirian Perseroan secara online melalui laman Perseroan Terbatas Perorangan pada Administrasi Hukum Umum (AHU) Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, https://ptp.ahu.go.id/

Terdapat panduan step-by-step pada laman tersebut yang dapat anda unduh untuk mempermudah anda mendirikan PT Perorangan.

Berikut ini adalah daftar isian yang harus dipersiapkan untuk diisikan melalui laman AHU:
    1. 1. Nama dan tempat kedudukan Perseroan Perorangan; 
    2. 2. Jangka waktu berdirinya Perseroan Perorangan; 
    3. 3. Maksud dan tujuan serta kegiatan usaha Perseroan perorangan; 
    4. 4. Jumlah modal dasar, modal ditempatkan, dan modal disetor (pada saat pendirian, harus ditempatkan dan disetor minimal 25% dari modal dasar); 
    5. 5. Nilai nominal dan jumlah saham; 
    6. 6. Alamat Perseroan perorangan; dan 
    7. 7. Nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, pekerjaan, tempat tinggal, nomor induk kependudukan, dan nomor pokok wajib pajak dari pendiri sekaligus direktur dan pemegang saham Perseroan perorangan.

3. Pertanggungjawaban Hukum dan Perubahan Status PT Perorangan

Karena PT Perorangan adalah badan usaha berbadan hukum, maka pertanggungjawaban hukum pendiri atau pemegang sahamnya sama seperti badan hukum PT pada umumnya, yaitu bersifat terbatas hanya sebesar saham yang dimilikinya. Hal ini dijamin oleh ketentuan Pasal 157J ayat (1) UUCK.

Namun perlu diperhatikan, pertanggungjawaban terbatas tersebut dapat menjadi tidak terbatas apabila persyaratan Perseroan sebagai badan hukum belum atau tidak terpenuhi, pemegang saham dengan itikad buruk memanfaatkan Perseroan untuk kepentingan pribadi, pemegang saham terlibat dalam perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh Perseroan, atau pemegang saham secara melawan hukum menggunakan kekayaan Perseroan, yang mengakibatkan kekayaan Perseroan menjadi tidak cukup untuk melunasi utang Perseroan.

Perlu diperhatikan pula, bahwa PT Perorangan dapat berubah statusnya menjadi PT biasa. Apabila pemegang saham dalam PT Perorangan menjadi lebih dari satu orang, atau PT Perorangan tersebut tidak lagi memenuhi kriteria usaha Mikro atau Kecil, maka status badan hukum PT tersebut harus diubah melalui suatu Akta Notaris, dan akan tunduk kepada ketentuan Perseroan Terbatas pada umumnya (Pasal 9 Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2021).

Demikianlah rangkuman singkat mengenai PT Perorangan. Jangan lupa, pengurusan legalitas usaha anda tidak berhenti sampai dengan pendirian badan usaha. Pastikan usaha anda memiliki Nomor Induk Berusaha (NIB) dan Izin Usaha yang sesuai dengan kegiatan usaha anda melalui Online Single Submission (OSS). Apabila usaha anda memiliki karyawan lebih dari 10 orang, pastikan perusahaan anda juga memiliki Peraturan Perusahaan yang disahkan oleh Dinas Ketenagakerjaan agar anda tidak terjerat permasalahan hukum di bidang ketenagakerjaan.

Jangan sampai kegiatan usaha anda terganggu oleh permasalahan hukum. Apabila anda membutuhkan informasi lebih lanjut, atau membutuhkan bantuan dalam pengurusan legalitas usaha, anda dapat menghubungi kami melalui tombol WhatsApp pada pojok kanan bawah halaman ini untuk menjadwalkan konsultasi.

Salam Hangat,
Aldi Putra Perdana, S.H., M.M., Advocate
Managing Partner – Lex Integra Law Office

Legalitas Bitcoin (Cryptocurrency) di Indonesia

 “Bukan Merupakan Alat Pembayaran, Tetapi Komoditi Tak Berwujud” 

(Artikel ini adalah Part 1 yang akan membahas legalitas umum Cryptocurrency di Indonesia. Part 2 akan membahas mengenai aturan main perdagangan Cryptocurrency menurut hukum Indonesia. Artikel ini bukan rekomendasi untuk membeli, menjual, atau melakukan transaksi apapun.)


Naik-turunnya harga Bitcoin sering menjadi pemberitaan. Investasi Bitcoin telah terbukti memberikan return sangat fantastis, yang tentu saja dibarengi dengan risiko yang sangat tinggi mengingat Bitcoin sangat volatile, sehingga berpotensi menibulkan kerugian yang fantastis pula.


Harga tertinggi Bitcoin yang tercatat pernah mencapai sekitar US $ 63.000, - atau Rp 900.000.000, - untuk 1 Bitcoin. Bayangkan return of investment yang anda miliki jika saat ini anda masih memiliki 1 Bitcoin yang anda dapatkan pada tahun 2009, di mana harganya saat itu hanya US $ 1 atau sekitar Rp 14.000, -. Namun perlu diingat, hal yang sebaliknya pun dapat berlaku. Pada saat artikel ini ditulis, harga Bitcoin adalah sekitar Rp 550.000.000, -. Artinya jika anda membeli 1 Bitcoin saat nilainya Rp 900.000.000, -, saat ini nilai investasi anda telah berkurang (rugi) sebesar Rp 350.000.000, -.


Cryptocurrency adalah mata uang digital terdesentralisasi dengan teknologi eknripsi. Bitcoin sendiri adalah salah satu jenis Cryptocurrency atau Crypto Asset/Aset Kripto pertama di dunia yang dicipkatan pada tahun 2009. Selain Bitcoin, masih banyak jenis Aset Kripto lainnya yang beredar, seperti Ethereum, Tether, Binance, hingga ‘Dogecoin’ yang berawal dari lelucon meme, namun akhir-akhir ini menjadi heboh karena lonjakan harganya telah mencapai 12000% dalam waktu yang relatif singkat.


Di beberapa negara, Aset Kripto dapat digunakan sebagai alat pembayaran. Bagaimana dengan legalitas Aset Kripto di Indonesia? Berikut ini ulasannya.



1. Bukan Merupakan Alat Pembayaran yang Sah

Menurut Pasal 1 angka 2 dan angka 1 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang (UU Mata Uang), uang merupakan alat pembayaran yang sah, dan mata uang yang digunakan di Indonesia adalah Rupiah. Di samping itu, Pasal 21 ayat (1) UU Mata Uang juga menegaskan bahwa mata uang Rupiah wajib digunakan dalam:


a.     Setiap transaksi yang mempunyai tujuan pembayaran;

b.     Penyelesaian kewajiban lainnya yang harus dipenuhi dengan uang; dan/atau

c.     Transaksi keuangan lainnya,

 

yang dilakukan di Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.


Mengingat Aset Kripto seperti Bitcoin, Ethereum, Tether, Binance, Dogecoin, dan sejenisnya bukan merupakan currency atau mata uang resmi Indonesia, maka jelas Aset Kripto tidak diakui sebagai alat pembayaran yang sah di Indonesia.


 

2. Diakui Legalitasnya Sebagai Komoditi

Aset Kripto diakui legalitasnya sebagai komoditi melalui Peraturan Menteri Perdagangan No. 99 Tahun 2018 tentang Kebijakan Umum Penyelenggaraan Perdagangan Berjangka Aset Kripto (Crypto Asset). Pasal 1 Peraturan Menteri tersebut secara tegas menyatakan bahwa Aset Kripto ditetapkan sebagai Komoditi yang dapat dijadikan Subjek Kontrak Berjangka yang diperdagangkan di Bursa Berjangka. Karena merupakan Komoditi, maka pengawasannya dilakukan oleh Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) yang berada di bawah Kementerian Perdagangan, bukan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK).


Meskipun diakui sebagai komoditi tidak berwujud, tidak semua jenis Aset Kripto dapat diperdagangkan di Indonesia. Berdasarkan Pasal 3 Peraturan Bappebti No. 5 Tahun 2019 tentang Ketentuan Teknis Penyelenggaraan Pasar Fisik Aset Kripto (Crypto Asset) di Bursa Berjangka, terdapat syarat-syarat khusus yang harus dipenuhi agar dapat diperdagangkan, yaitu:

 

a.       Berbasis distributed ledger technology;

b.       Berupa Aset Kripto utilitas (utility crypto) atau Aset Kripto beragun aset (Crypto Backed Asset);

c.       Nilai kapitalisasi pasar (market cap) masuk ke dalam peringkat 500 (lima ratus) besar kapitalisasi pasar Aset Kripto (coinmarketcap) untuk Kripto Aset utilitas;

d.       Masuk dalam transaksi bursa Aset Kripto terbesar di dunia;

e.       Memiliki manfaat ekonomi; dan

f.       Telah dilakukan penilaian risikonya, termasuk risiko pencucian uang dan pendanaan terorisme serta proliferasi senjata pemusnah massal.


Selain memenuhi syarat tersebut, Aset Kritpo hanya dapat diperdagangkan di Indonesia apabila telah ditetapkan oleh Kepala Bappebti dalam Daftar Aset Kripto yang diperdagangkan di Pasar Fisik Aset Kripto. Dengan demikian, apabila anda ingin berinvestasi Aset Kripto, pastikan jenis Aset Kripto yang anda minati ada dalam daftar tersebut agar tidak bermasalah di kemudian hari.


Nah,karena tidak dapat digunakan sebagai mata uang atau alat pembayaran di Indonesia, maka hasil dari perdagangan Aset Kripto inilah yang digunakan untuk kegiatan jual beli, tentunya dalam mata uang Rupiah.


Artikel part selanjutnya akan membahas lebih jauh mengenai aturan main perdagangan Aset Kripto berdasarkan Peraturan Bappebti. Apabila anda memiliki pertanyaan terkait topik di atas, anda dapat menghubungi kami melalui Tombol WhatsApp pada pojok kanan bawah halaman ini untuk menjadwalkan konsultasi.


Salam Hangat,

Aldi Putra Perdana, S.H., M.M., Adv.

Principal Lawyer & Managing Partner – Lex Integra Law Office

Langkah Hukum Penyelesaian Perselisihan Ketenagakerjaan

 “Tidak Dapat Langsung Menggugat! Ada Proses Perundingan yang Menjadi Syarat”

Hubungan ketenagakerjaan yang harmonis antara pengusaha dengan pekerja merupakan keadaan yang dicita-citakan oleh Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UUK) sebagaimana telah diperbaharui dengan Undang-undang Cipta Kerja (UUCK) beserta turunannya. Dalam praktiknya, masih terdapat banyak perselisihan-perselisihan yang terjadi, baik yang disebabkan karena pelanggaran oleh perusahaan maupun pekerja, perbedaan pendapat dan kepentingan, hingga perbedaan penafsiran.


Dalam hal terjadi perselisihan ketenagakerjaan, atau disebut juga Perselisihan Hubungan Industrial, Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (UUPPHI) telah mengatur mekanisme-mekanisme penyelesaiannya. Agar pengusaha maupun pekerja memahami ketentuan, alur, proses, dan tata cara penyelesaian perselisihan hubungan industrial, Lex Integra merangkum ketentuan dalam undang-undang tersebut sebagai berikut:

 

1. Jenis Perselisihan Hubungan Industrial

Apabila terjadi Perselisihan Hubungan Industrial, sebelum menentukan langkah apa yang akan ditempuh, baik pengusaha maupun pekerja perlu terlebih dahulu mengetahui jenis perselisihan apa yang terjadi, karena langkah yang akan ditempuh bisa berbeda. UUPHI membagi Perselisihan Hubungan Industrial ke dalam 4 jenis sebagai berikut:


a. Perselisihan hak, yaitu perselisihan yang timbul karena tidak dipenuhinya hak, akibat adanya perbedaan pelaksanaan atau penafsiran terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan, perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.


b. Perselisihan kepentingan, yaitu perselisihan yang timbul dalam hubungan kerja karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pembuatan, dan/atau perubahan syarat-syarat kerja yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, atau peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.


c. Perselisihan pemutusan hubungan kerja, yaitu perselisihan yang timbul karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pengakhiran hubungan kerja yang dilakukan oleh salah satu pihak.


d. Perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh, yaitu perselisihan antara serikat pekerja dengan serikat pekerja lain dalam satu perusahaan, karena tidak adanya persesuaian paham mengenai keanggotaan, pelaksanaan hak, dan kewajiban keserikatpekerjaan.


Setelah memahami dan menentukan perselisihan hubungan industrial apa yang sedang terjadi, langkah selanjutnya adalah menempuh perundingan bipartit secara internal antara pengusaha dengan pekerja atau serikat pekerja buruh untuk mencapai mufakat.

 

2. Perundingan Bipartit (Internal)

Perundingan bipartit merupakan langkah yang diwajibkan oleh Pasal 3 ayat (1) UUPHI untuk ditempuh terlebih dahulu atas setiap perselisihan hubungan industrial yang terjadi. Proses perundingan ini dilaksanakan secara internal tanpa ada keterlibatan instansi ketenagakerjaan. Dalam proses ini, pekerja dapat didampingi oleh serikat pekerja maupun Advokat demi keseimbangan dengan perusahaan yang juga dapat diwakili oleh bagian HR atau bagian hukumnya maupun didampingi oleh Advokat. Meskipun demikian, pekerja yang bersangkutan tetap wajib menghadiri perundingan tersebut.


Perundingan dilaksanakan dalam jangka waktu paling lama 30 hari sejak tangal dimulainya perundingan dan wajib dibuatkan risalahnya yang ditandatangani oleh para pihak. Atas kesepakatan yang tercapai dalam perundingan tersebut, wajib dibuatkan Perjanjian Bersama (PB).


Apabila dalam jangka waktu 30 hari tidak tercapai kesepakatan, atau salah satu pihak menolak untuk berunding, maka perundingan dianggap gagal. Kegagalan tersebut dapat dicatatkan oleh salah satu atau kedua belah pihak kepada instansi ketenagakerjaan (disnaker) setempat dengan melampirkan bukti bahwa upaya-upaya perundingan bipartit telah dilakukan.

 

3. Perundingan Mediasi, Konsiliasi, dan Arbitrase

Dalam hal perundingan biaprtit gagal atau tidak mencapai kesepakatan, instansi ketenagakerjaan akan menawarkan penyelesaian melalui konsiliasi atau melalui arbitrase tergantung pada jenis perselisihan hubungan yang terjadi, atau para pihak juga dapat memilih untuk menyelesaikan melalui mediasi dengan mediator yang berasal dari instansi ketenagakerjaan tersebut.


Dalam mediasi dan konsiliasi di instansi ketenagakerjaan, para pihak wajib hadir walaupun didampingi oleh advokat atau kuasa hukum. Apabila terjadi kesepakatan dalam mediasi dan konsiliasi, maka para pihak membuat Perjanjian Bersama (PB) yang wajib dicatatkan pada Pengadilan Hubungan Industrial setempat. Apabila tidak terjadi kesepakatan, maka mediator atau konsiliator akan mengeluarkan anjuran tertulis. Dalam hal para pihak menyetujui anjuran tersebut, maka mediator atau konsiliator akan membantu para pihak untuk membuat PB. Dalam hal salah satu pihak atau para pihak menolak anjuran tersebut, maka salah satu pihak atau para pihak dapat melanjutkan penyelesaian perselisihan ke Pengadilan Hubungan Industrial.


Berbeda dengan mediasi dan konsiliasi, arbitrase merupakan suatu lembaga penyelesaian sengketa alternatif tersendiri. Penyelesaian perselisihan melalui arbitrase hanya dilakukan untuk jenis perselisihan kepentingan dan perselisihan antar serikat pekerja dalam satu perusahaan.


Dalam penyelesaian melalui arbitrase, para pihak dapat diwakili oleh kuasa hukumnya. Hakim dalam arbitrase disebut Arbiter. Arbiter akan terlebih dahulu mengupayakan perdamaian para pihak, yang apabila tercapai maka akan terbit Akta Perdamaian. Dalam hal perdamaian tidak tercapai, Arbiter akan melanjutkan sidang arbitrase.


Produk hukum dari sidang arbitrase adalah Putusan Arbitrase. Putusan ini memiliki kekuatan hukum yang tetap dan bersifat final serta memiliki kekuatan eksekutorial sehingga wajib dilaksanakan oleh para pihak. Perselisihan yang sedang atau telah diselesaikan melalui arbitrase tidak dapat diajukan ke Pengadilan Hubungan Industrial.

 

4. Pengadilan Hubungan Industrial

Setelah melalui perundingan bipartit dan mediasi atau konsiliasi, para pihak atau salah satu pihak yang menolak anjuran tertulis dari mediator atau konsiliator dapat mengajukan penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui Pengadilan Hubungan Industrial. Risalah mediasi atau konsiliasi merupakan salah satu syarat mutlak yang dibutuhkan dalam mengajukan gugatan pada Pengadilan Hubungan Industrial. Oleh karena itu, para pihak atau salah satu pihak tidak dapat langsung mengajukan gugatan tanpa terlebih dahulu menempuh perundingan bipartit dan tripartit berupa mediasi atau konsiliasi.


Dalam bersidang, serikat pekerja atau organisasi pengusaha dapat bertindak sebagai kuasa hukum untuk mewakili anggotanya. Agar gugatan atau pembelaan maksimal dari sisi hukum formil, para pihak juga dapat menggunakan jasa advokat sebagai kuasa hukum.

 


Demikian rangkuman singkat dari alur penyelesaian perselisihan hubungan industrial sebagaimana diatur dalam UUPPHI. Proses yang ditempuh memang tidak singkat, di mana para pihak yang berselisih tidak dapat langsung mengajukan gugatan. Hal tersebut untuk memastikan bahwa perselisihan-perselisihan yang timbul dapat diselesaikan terlebih dahulu melalui musyawarah untuk mufakat sebelum menyelesaikannya melalui lembaga peradilan.


Apabila anda memiliki pertanyaan lebih lanjut terkait topik penyelesaian perselisihan ketenagakerjaan/hubungan industrial atau membutuhkan bantuan kami dalam menyelesaikan perselisihan hubungan industrial, anda dapat menghubungi kami melalui tombol WhatsApp pada pojok kanan bawah halaman ini untuk menjadwalkan konsultasi baik perorangan, kolektif, serikat pekerja, maupun untuk perusahaan anda.

 

Salam Hangat,

Aldi Putra Perdana, S.H, M.M., Adv.

Principal Lawyer & Managing Partner – Lex Integra Law Office

Uang Kompensasi bagi Karyawan Kontrak atau PKWT

 "Terdapat Sanksi Hukum Jika Pengusaha Melanggar"

Salah satu ketentuan ketenagakerjaan yang muncul pasca disahkannya Undang-undang Cipta Kerja (UUCK) beserta turunannya yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 (PP 35/2021) adalah adanya Uang Kompensasi yang wajib dibayarkan oleh Pengusaha kepada karyawan dengan status kontrak (non-permanen) atau yang dikenal juga dengan istilah pekerja dengan PKWT (Perjanjian Kerja Waktu Tertentu). Apabila sebelumnya karyawan kontrak tidak berhak mendapatkan apapun saat kontraknya berakhir, maka dengan disahkannya peraturan tersebut kini karyawan kontrak berhak menerima uang kompensasi.


Terdapat sanksi apabila Pengusaha melanggar ketentuan mengenai uang kompensasi tersebut dan karyawan mengadukannya kepada instansi ketenagakerjaan setempat. Berdasarkan Pasal 61 PP 35/2021, sanksi yang diberikan dapat berupa teguran tertulis, pembatasan kegiatan usaha, penghentian sementara sebagian atau seluruh alat produksi, hingga pembekuan kegiatan usaha.


Dengan demikian agar karyawan kontrak dapat memahami hak-haknya, dan agar pengusaha tidak salah dalam menerapkan kewajiban tersebut, mari simak ketentuannya.


1. Wajib Dibayarkan oleh Pengusaha Saat Kontrak Berakhir atau Akan Diperpanjang


Berdasarkan Pasal 15 PP 35/2021, uang kompensasi tersebut wajib dibayarkan pengusaha kepada karyawan kontrak atau PKWT (kecuali Tenaga kerja Asing) yang telah bekerja paling sedikit satu bulan. Pembayaran tersebut wajib dilakukan pada saat kontrak berakhir. Apabila kontrak tersebut akan diperpanjang, maka pengusaha wajib membayarkan terlebih dahulu uang kompensasi atas kontrak yang akan berakhir dan diperpanjang tersebut sebelum melakukan perpanjangan kontrak.


2. Perhitungannya Sesuai Masa Kerja


Perhitungan uang kompensasi yang berhak diterima oleh karyawan kontrak tidak bergantung kepada kinerja karyawan kontrak, tetapi didasarkan kepada masa kerja dan upah. Berdasarkan Pasal 16 PP 35/2021, rumus perhitungannya adalah masa kerja yang sudah dijalani (dalam bulan) dibagi 12 kemudian dikalikan besaran 1 bulan upah.


Sebagai contoh, apabila seorang karyawan dikontrak pada bulan April 2021 untuk 2 tahun (24 bulan) dengan upah Rp. 5.000.000,-, maka pada saat kontraknya berakhir pada bulan April 2023, karyawan tersebut berhak menerima uang kompensasi sebesar (24/12)x5.000.000, yaitu Rp. 10.000.000,-.


Bagaimana jika karyawan mengundurkan diri atau diputus kontraknya sebelum jangka waktu kontraknya berakhir? Pasal 17 PP 35/2021 mengatur bahwa apabila salah satu pihak mengakhiri kontrak sebelum jangka waktu kontrak berakhir, uang kompensasi tetap wajib dibayarkan oleh pengusaha, namun besarannya disesuaikan dengan masa kerja yang sudah dijalani.


3. Berlaku juga bagi karyawan yang dikontrak sebelum UU Cipta Kerja


Bagaimana dengan karyawan yang dikontrak sebelum berlakunya UU Cipta Kerja dan turunannya? Apakah ketentuan tersebut berlaku surut, atau hanya berlaku terhadap karyawan yang dikontrak setelah berlakunya UU Cipta Kerja?


Dalam Pasal 64 PP 35/2021, disebutkan bahwa bagi kontrak atau PKWT yang jangka waktunya belum berakhir (masih berstatus karyawan kontrak) pada saat Peraturan Pemerintah tersebut mulai berlaku (2 Februari 2021), maka uang kompensasinya tetap wajib dibayarkan pada saat jangka waktu kontraknya berakhir. Perbedaannya dengan karyawan yang dikontrak setelah berlakunya Peraturan tersebut adalah, dasar perhitungan masa kerja yang digunakan dihitung sejak berlakunya Undang-undang Cipta Kerja (2 November 2020), bukan dihitung sejak pertama kali karyawan tersebut dikontrak.


Sebagai contoh, apabila seorang karyawan dikontrak pada bulan April 2020 untuk jangka waktu 2 tahun (24 bulan) dengan upah Rp. 5.000.000,-, maka masa kerja yang dihitung sebagai dasar perhitungan uang kompensasi pada saat kontraknya berakhir di bulan April 2022 tidak dihitung sejak bulan April 2020, melainkan sejak November 2020 (17 bulan). Dengan demikian, uang kompensasi yang berhak diterima karyawan tersebut pada saat kontraknya berakhir pada bulan April 2022 adalah (17/12)x5.000.000,-, yaitu Rp. 7.083.333,-.

 


Demikian ketentuan-ketentuan utama terkait Uang Kompensasi bagi Karyawan Kontrak. Apabila anda memiliki pertanyaan lebih jauh atau membutuhkan bantuan kami terkait dengan topik tersebut, anda dapat menghubungi kami atau menjadwalkan konsultasi melalui tombol WhatsApp pada pojok kanan bawah halaman ini.

 

Salam Hangat,

Aldi Putra Perdana, S.H., M.M., Adv.

Managing Partner – Lex Integra Law Office

Entrepreneur Wajib Tahu! Aspek Hukum Mendirikan Bisnis

 

“Lindungi Bisnis Anda dari Ancaman Hukum”

Memiliki bisnis atau usaha sendiri memberikan fleksibilitas bagi seseorang untuk dapat bekerja tanpa harus terikat dengan jam kerja. Tidak hanya dari sisi kebebasan waktu, bisnis atau usaha sendiri juga tentu diharapkan oleh para pendirinya dapat memberikan kebebasan finansial.


Tidak jarang suatu bisnis yang sudah memiliki konsep yang bagus malah menjadi bermasalah dengan hukum sehingga mencederai dan merugikan bisnis itu sendiri. Mulai dari meningkatnya legal cost yang mengganggu cashflow dan profit, terhentinya kegiatan bisnis, hingga tersangkut masalah pidana. Salah satu penyebabnya adalah tidak memahami kebutuhan hukum dari bisnis yang sedang dijalani, atau dengan kata lain tidak memperhatikan ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku saat menjalankan bisnis.


Untuk menangani aspek hukum bisnis anda, anda dapat mengurusnya sendiri atau menyerahkan pengurusan tersebut kepada pemberi jasa hukum yang kompeten. Berikut ini adalah aspek-aspek hukum dasar yang perlu diperhatikan dalam mendirikan dan menjalankan usaha, agar bisnis anda terlindungi dari ancaman hukum.


1. Bentuk Badan Usaha

Setelah anda yakin dan merasa matang dengan konsep bisnis anda, maka langkah pertama yang dapat anda lakukan adalah menentukan bentuk badan usaha untuk bisnis anda berdasarkan skema permodalan, kepengurusan, dan pertanggungjawaban hukumnya.


Dari statusnya sebagai subjek hukum, terdapat dua jenis badan usaha, yaitu yang berbadan hukum dan yang tidak berbadan hukum. Bentuk badan usaha yang berbadan hukum adalah Perseroan Terbatas (PT), Koperasi, dan Yayasan. Sementara itu, bentuk usaha yang tidak berbadan hukum adalah Usaha Perseorangan, Persekutuan Komanditer (CV), dan Firma.


Pada badan usaha yang berbadan hukum, para pendiri, pemegang saham, dan pengurus tidak bertanggung jawab secara pribadi atas perbuatan hukum badan usaha. Dengan demikian, dalam hal badan usaha mengalami kerugian finansial, maka para pendiri, pemegang saham, dan pengurus tidak serta merta menanggung kerugian finansial tersebut, kecuali terdapat pelanggaran tertentu yang diatur oleh peraturan perundang-undangan. Hal ini berbeda dengan pertanggungjawaban badan usaha yang tidak berbadan hukum, di mana pemilik badan usaha atau pengurusnya bertanggungjawab secara pribadi.


2. Legalitas Bisnis

Setelah menentukan bentuk badan usaha, anda perlu memperhatikan legalitas dari badan usaha tersebut. Legalitas tersebut meliputi proses pendirian badan usaha, Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga (AD/ART), pengesahan, dan perizinannya. Pastikan badan usaha anda mendapatkan Nomor Induk Berusaha (NIB), dan pastikan pula bentuk badan usaha yang anda dirikan sesuai dengan yang dipersyaratkan terhadap jenis bidang usaha yang anda akan jalankan.


Tidak memiliki NIB atau tidak memiliki perizinan yang tepat untuk bisnis yang anda jalankan dapat menyebabkan anda tersangkut masalah hukum yang dapat merugikan anda dan bisnis anda. Jangan sampai ingin untung malah buntung hanya karena masalah legalitas.


3. Hak Kekayaan Intelektual

Langkah selanjutnya adalah memperhatikan perlindungan kekayaan intelektual dari bisnis anda.


Apabila anda memproduksi barang atau jasa tertentu, maka sebagai pembeda dengan produk lain anda perlu memiliki merek untuk produk anda. Pastikan merek anda terdaftar pada Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual (Ditjen HKI) agar terlindungi.


Begitu pula jika bisnis anda terkait dengan suatu karya atau ciptaan anda sendiri, maka untuk perlindungan yang maksimal, anda perlu mempertimbangkan untuk mencatatkan Hak Cipta atas ciptaan anda pada Ditjen HKI.


Jika bisnis anda berasal dari suatu penemuan (invention) milik anda sendiri, maka anda perlu mendaftarkan hak paten atas penemuan tersebut.


Apabila usaha anda melibatkan merek, hak cipta, atau paten milik orang lain, maka anda perlu mengurus legalitas penggunaan Kekayaan Intelektual tersebut untuk bisnis anda melalui suatu perjanjian lisensi dengan pemilik atau pemegang merek, hak cipta, atau paten tersebut untuk mendapatkan izin.


4. Aspek Ketenagakerjaan

Langkah selanjutnya yang perlu anda perhatikan adalah aspek ketenagakerjaan. Hal-hal yang perlu anda pertimbangkan adalah:

- berapa orang karyawan yang akan anda pekerjakan?

- bagaimana hubungan kerjanya, kontrak atau permanen?

- apakah hak karyawan anda sesuai dengan peraturan perundang-undangan?

- apakah anda perlu membuat peraturan perusahaan?


Perlu untuk diperhatikan bahwa peraturan perundang-undangan mengatur secara tegas sanksi apabila ketentuan ketenagakerjaan tidak anda terapkan dengan benar. Lagi-lagi, jangan sampai kesalahan dalam memperhatikan aspek ini membuat anda atau bisnis anda terjerat hukum.


Baca juga:  Awas! Tidak Punya Peraturan Perusahaan Bisa Dipidana


5. Aspek Perpajakan

Sebagai warga negara yang baik tentu memahami bahwa anda wajib membayar pajak dari penghasilan yang bisnis anda dapatkan. Pastikan anda atau bisnis anda memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan melaporkan serta membayar pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Terdapat sanksi pidana yang tegas apabila anda tidak memenuhi ketentuan perpajakan.


Demikian aspek-aspek hukum dasar yang perlu diperhatikan dalam mendirikan dan menjalankan usaha, agar bisnis anda terlindungi dari ancaman hukum.


Kami memahami bahwa mengurus aspek-aspek hukum tersebut dapat menjadi tantangan bahkan hambatan dalam berbisnis. Agar anda dapat fokus pada kegiatan utama bisnis anda yaitu mencari keuntungan, anda dapat menunjuk pemberi jasa hukum yang berkompeten untuk membantu anda melindungi bisnis anda dari ancaman hukum.


Apabila anda memiliki pertanyaan lebih jauh atau membutuhkan bantuan kami terkait dengan pendirian badan usaha, legalitas, perizinan, kontrak bisnis, kekayaan intelektual, dan ketenagakerjaan, anda dapat menghubungi kami dan menjadwalkan konsultasi melalui tombol WhatsApp pada pojok kanan bawah halaman ini.


Salam Hangat,

Aldi Putra Perdana, S.H., M.M., Adv.

Managing Partner – Lex Integra Law Office

Awas! Tidak Punya Peraturan Perusahaan Bisa Dipidana

 

“Peraturan Perusahaan Melindungi Hak dan Kewajiban Perusahaan dan Pekerja”

Perusahaan yang mempekerjakan paling sedikit 10 orang Pekerja/Buruh wajib membuat Peraturan Perusahaan. Ketentuan ini tertuang dalam Pasal 108 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UUK) dan tidak mengalami perubahan dalam Undang-undang Cipta Kerja. Terdapat sanksi yang tegas, yaitu sanksi pidana bagi pengusaha atau perusahaan yang melanggar. Ketentuan ini tidak berlaku bagi perusahaan yang telah memiliki Perjanjian Kerja Bersama yang dibuat dengan perundingan bersama Serikat Pekerja atau Serikat Buruh.

Berikut ini adalah ketentuan-ketentuan utama terkait dengan Peraturan Perusahaan.


1. Peraturan Perusahaan Wajib Disahkan oleh Menteri atau Pejabat yang Ditunjuk

Peraturan perusahaan adalah peraturan yang dibuat secara tertulis oleh pengusaha yang memuat syarat-syarat kerja dan tata tertib perusahaan. Berdasarkan ketentuan Pasal 108 UUK, Peraturan Perusahaan mulai berlaku setelah disahkan oleh Menteri Ketenagakerjaan atau pejabat yang ditunjuk.


Lebih lanjut, ketentuan mengenai Peraturan Perusahaan diatur dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 28 Tahun 2014 tentang Tata Cara Pembuatan dan Pengesahan Peraturan Perusahaan serta Pembuatan dan Pendaftaran Perjanjian Kerja Bersama (Permen 28/2014). Dalam Permen tersebut diatur bahwa satu perusahaan hanya dapat membuat satu Peraturan Perusahaan yang juga berlaku di seluruh kantor cabangnya setelah disahkan. Namun demikian, masing-masing kantor cabang dapat membuat turunan dari Peraturan Perusahaan yang juga harus mendapatkan pengesahan dari instansi ketenagakerjaan setempat.


Melalui Permen 28/2014, Menteri menunjuk pejabat yang dapat melakukan pengesahan. Pengesahan tersebut dilakukan oleh:

a. Kepala SKPD bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota, untuk perusahaan yang terdapat hanya dalam 1 (satu) wilayah kabupaten/kota;

b. Kepala SKPD bidang ketenagakerjaan provinsi, untuk perusahaan yang terdapat pada lebih dari 1 (satu) kabupaten/kota dalam 1 (satu) provinsi;

c. Direktur Jenderal, untuk perusahaan yang terdapat pada lebih dari 1 (satu) provinsi.

 

Peraturan Perusahaan berlaku untuk jangka waktu paling lama 2 tahun setelah disahkan oleh pejabat yang berwenang. Pembaharuan Peraturan Perusahaan wajib diajukan paling lama 30 hari sebelum berakhirnya masa perlaku Peraturan Perusahaan tersebut. Adapun syarat-syarat dan formulir permohonan pengesahan maupun pembaharuan Peraturan Perusahaan yang harus dipersiapkan oleh pengusaha atau perusahaan, secara lengkap dapat dilihat pada lampiran Permen 28/2014.


Baik pembuatan Peraturan Perusahaan baru maupun pembaharuannya, pengusaha atau perusahaan wajib melibatkan Serikat Pekerja/Buruh atau perwakilan Pekerja/Buruh yang ditunjuk secara demokratis untuk mewakili seluruh Pekerja/Buruh.


Setelah mendapatkan pengesahan, Peraturan Perusahaan wajib memberitahukan dan menjelaskan isi serta memberikan naskah Peraturan Perusahaan atau perubahannya kepada Pekerja/Buruh.


2. Materi Muatan Peraturan Perusahaan

Peraturan Perusahaan berfungsi untuk mengamankan dan memberikan kepastian hukum terhadap hak dan kewajiban masing-masing pekerja/buruh dan juga pengusaha atau perusahaan. Menurut Pasal 111 UUK, materi muatan dalam Peraturan Perusahaan harus memuat paling sedikit:


a. hak dan kewajiban pengusaha ;

b. hak dan kewajiban pekerja/buruh;

c. syarat kerja; tata tertib perusahaan; dan

d. jangka waktu berlakunya peraturan perusahaan.

 

Sebagai salah satu contoh, dalam Peraturan Perusahaan harus diatur perbuatan apa saja yang dapat diberikan Surat Peringatan (SP) beserta dengan ketentuan tingkatan Surat Peringatan tersebut. Dengan demikian, apabila SP dikeluarkan tidak sesuai dengan Peraturan Perusahaan yang telah disahkan, maka SP tersebut beseta akibat hukumnya (contoh: PHK) dapat menjadi tidak sah karena adanya kecatatan hukum dalam penerbitannya.


Penting untuk diingat, ketentuan-ketentuan dalam Peraturan Perusahaan tidak boleh lebih rendah atau bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


3. Sanksi Tidak Memiliki Peraturan Perusahaan

Terdapat sanksi yang cukup tegas bagi pengusaha atau perusahaan yang tidak membuat atau memiliki Peraturan Perusahaan yang telah disahkan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 188 UUK sebagaimana telah diperbaharui dengan Undang-undang Cipta Kerja menyebutkan bahwa pelanggaran tersebut dikenai pidana denda denda paling sedikit Rp 5.000.000,- (lima juta rupiah) dan paling banyak Rp 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah).


Sebagai contoh kasus konkrit yang belum lama ini terjadi, Pengadilan Negeri (PN) Kelas II Jakarta Selatan pada 12 Maret 2020 pernah menjatuhkan sanksi pidana denda subsidair kurungan kepada Direktur salah satu Perseroan Terbatas dengan inisial HMD karena perusahaannya tidak memiliki Peraturan Perusahaan.


Meskipun pidana yang dijatuhkan bukan pidana penjara, tentunya menjadi suatu catatan buruk bagi pengusaha atau perusahaan apabila telah dijatuhi pidana. Selain berpengaruh terhadap keuangan dari sisi denda yang harus dibayarkan, sanksi tersebut juga dapat berpengaruh terhadap reputasi perusahaan.


Demikian ketentuan-ketentuan utama terkait kewajiban pengusaha atau perusahaan memiliki Peraturan Perusahaan. Apabila anda memiliki pertanyaan lebih jauh atau membutuhkan bantuan kami terkait dengan pembuatan dan pengesahan Peraturan Perusahaan, anda dapat menghubungi kami dan menjadwalkan konsultasi melalui tombol WhatsApp pada pojok kanan bawah halaman ini.


Salam Hangat,

Aldi Putra Perdana, S.H., M.M., Adv.

Managing Partner – Lex Integra Law Office


Contact Us

WhatsApp :

+62 821 1318 2923

Address :

Lex Integra Law Office
Jl. Ecopolis Boulevard VD03/62, 2nd Floor,
Citra Raya,
Kab. Tangerang, Indonesia

Email :

counsel.integra@gmail.com